Dua hari lalu, puluhan siswa SD Nahdlatul Ulama (NU) Nawa Kartika,
Kudus, Jawa Tengah memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada
2 Mei. Peringatan tersebut diisi dengan acara ziarah ke makam
Sosrokartono.
Sekitar 155 siswa kelas V SD NU Nawa Kartika
didampingi guru berziarah ke makam salah satu pejuang pendidikan
tersebut. Lalu siapa Sosrokartono?
Lahir di Mayong dengan nama
Raden Mas Panji Sosrokartono pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877
M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara.
Sejak
kecil Sosrokartono sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan
mempunyai kemampuan membaca masa depan. Kakak dari ibu kita Raden Adjeng Kartini
ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan
pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 Sosrokartono lalu
meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda.
Sosro awalnya masuk di
sekolah Teknik Tinggi di Leiden. Tetapi merasa tidak cocok, sehingga
pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan
mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri
Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia
lainnya. Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen
dari Perguruan Tinggi Leiden, Sosro akhirnya melanglang buana ke seluruh
Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan.
Pada tahun 1917, koran
Amerika The New York Herald Tribune, di Kota Wina, ibu kota Austria,
membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan perang untuk meliput Perang
Dunia I. Salah satu tes adalah menyingkat-padatkan sebuah berita dalam
bahasa Perancis yang panjangnya satu kolom menjadi berita yang terdiri
atas kurang lebih 30 kata, dan harus ditulis dalam 4 bahasa yaitu
Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis sendiri. Drs Raden Mas Panji
Sosrokartono, putra Bumiputra yang ikut melamar, berhasil memeras berita
itu menjadi 27 kata, sedangkan para pelamar lainnya rata-rata lebih
dari 30 kata. Persyaratan lainnya juga bisa dipenuhi oleh RMP
Sosrokartono sehingga akhirnya ia terpilih sebagai wartawan perang surat
kabar bergengsi Amerika, The New York Herald Tribune.
Supaya
pekerjaannya lancar, dia juga diberi pangkat Mayor oleh Panglima Perang
Amerika Serikat. RMP Sosrokartono seorang poliglot, ahli banyak bahasa.
Ia menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di tanah Nusantara.
Sebelum ia menjadi wartawan the New York Herald Tribune, ia bekerja
sebagai penerjemah di Wina. Di Wina ia terkenal dengan julukan si jenius
dari Timur.
Dia juga bekerja sebagai wartawan beberapa surat
kabar dan majalah di Eropa. Di dalam buku 'Memoir' Drs Muhammad Hatta
diceritakan kalau RMP Sosrokartono mendapat gaji 1250 Dollar dari surat
kabar Amerika. Dengan gaji sebesar itu ia dapat hidup mewah di Eropa.
Sosro
juga kerap mengirimi buku dan buletin kepada adiknya Kartini. Buku
kiriman Sosro ini lah yang kelak menjadi pencerahan bagi Kartini untuk
mendobrak tradisi dan melahirkan emansipasi wanita di Nusantara.
Sebelum
Perang Dunia I berakhir, pada bulan November 1918, RMP Sosrokartono
terpilih oleh blok Sekutu menjadi penerjemah tunggal, karena ia
satu-satunya pelamar yang memenuhi syarat-syarat mereka yaitu ahli
bahasa dan budaya di Eropa dan juga bukan bangsa Eropa. Dalam 'Memoir'
tulisan Drs Muhammad Hatta ditulis kalau RMP Sosrokartono juga menguasai
bahasa Basque, menjadi penerjemah pasukan Sekutu kala melewati daerah
suku Basque. Suku Basque adalah salah satu suku yang hidup di Spanyol.
Ketika Perang Dunia I menjelang akhir, diadakan perundingan perdamaian
rahasia antara pihak yang bertikai.
Pihak-pihak yang berunding
naik kereta api yang kemudian berhenti di hutan Compaigne di Perancis
Selatan. Di dalam kereta api, pihak yang bertikai melakukan perundingan
perdamaian rahasia. Di sekitar tempat perundingan telah dijaga ketat
oleh tentara dan tidak sembarangan orang apalagi wartawan boleh
mendekati tempat perundingan dalam radius 1 km. Semua hasil perundingan
perdamaian rahasia tidak boleh disiarkan, dikenakan embargo sampai
perundingan yang resmi berlangsung.
Dalam Sejarah Dunia,
Perundingan Perdamaian Perang Dunia ke I yang resmi berlangsung di kota
Versailles, di Perancis. Ketika banyak wartawan yang mencium adanya
'perundingan perdamaian rahasia' masih sibuk mencari informasi, koran
Amerika The New York Herald Tribune ternyata telah berhasil memuat hasil
perundingan rahasia tersebut. Penulisnya 'anonim', hanya menggunakan
kode pengenal 'Bintang Tiga'. Kode tersebut di kalangan wartawan Perang
Dunia ke I dikenal sebagai kode dari wartawan perang RMP Sosrokartono.
Konon tulisan itu menggemparkan Amerika dan juga Eropa.
Lalu
bagaimana RMP Sosrokartono bisa mendapat hasil perundingan perdamaian
yang amat dirahasiakan dan dijaga ketat? Apakah RMP Sosrokartono menjadi
penerjemah dalam perundingan rahasia tersebut? Kalau ia menjadi
penerjemah dalam perundingan rahasia itu lalu bagaimana ia
menyelundupkan beritanya keluar? Seandainya ia tidak menjadi penerjemah
dalam perundingan perdamaian rahasia itu, sebagai wartawan perang,
bagaimana caranya ia bisa mendapat hasil perundingan perdamaian rahasia
tersebut?
Sayangnya dalam buku Biografi RMP Sosrokartono tidak
ada informasi mengenai hal ini. Namun tak dapat disangkal lagi, berita
tulisan RMP Sosrokartono di koran New York Herald Tribune mengenai hasil
perdamaian rahasia Perang Dunia I itu merupakan prestasi luar biasa
Sosrokartono sebagai wartawan perang.
Tahun 1919 didirikan Liga
Bangsa-Bangsa (League of Nations) atas prakarsa Presiden Amerika Serikat
Woodrow Wilson. Dari tahun 1919 sampai 1921, RMP Sosrokartono, anak
Bumiputra, mampu menjabat sebagai Kepala penerjemah untuk semua bahasa
yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. Bahkan dia berhasil mengalahkan
poliglot-poliglot dari Eropa dan Amerika sehingga meraih jabatan
tersebut. Liga Bangsa-Bangsa kemudian berubah nama menjadi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) pada tahun 1921.
Tahun
1919 RMP Sosrokartono juga diangkat menjadi Atase Kebudayaan di
Kedutaan Besar Perancis di Belanda. Sampai suatu ketika terdengar berita
tentang sakitnya seorang anak berumur lebih kurang 12 tahun. Anak itu
adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung
sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter.
Dengan dorongan
hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk
meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak
kenalannya yang sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung
meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah
keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan
hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.
Kejadian itu
membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk
juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu.
Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan
bahwa sebenarnya Drs. R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke
magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Mendengar
penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan
menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar
Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu.
Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di
sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan
Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa
lulusan medisch dokter.
Beliau kecewa, karena di sana beliau
hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai
dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah
ilham untuk kembali saja ke Tanah Air-nya.
RMP Sosrokartono akhirnya pulang ke tanah air tahun 1925. Ia kemudian menetap di kota Bandung
Dikutip dari berbagai sumber semoga bermanfaat :).